11 Maret 2011

Kajian ilmiah tentang bahasa ROH

Dikalangan umat Kristiani terutama mereka dari denominasi Pentakosta dan Kharismatik, bahasa Roh merupakan bagian integral dalam setiap persekutuan doa maupun ibadahnya. Seakan tanpa visualisasi bahasa Roh, persekutuan doa dan ibadahnya terkesan hambar dan tidak rohani. Jadilah pengalaman bahasa Roh sebagai dogma dari denominasi ini. Sampai-sampai jemaatnya tidak saja dibimbing untuk mengalami berbahasa Roh ( betul-betul karunia bahasa Roh ) melainkan juga bimbingan berbahasa Roh yang diajarkan semisal untuk bisa berbahasa Roh mulailah dengan bla…bla…bla… dan seterusnya ( yang ini sulit untuk bisa dipertanggung jawabkan apakah sungguh-sungguh karunia berbahasa roh atau rekayasa hamba Tuhan dan umatnya semata dan apa manfaatnya berbahasa Roh seperti ini. ) Hanya Tuhan yang tahu

Bagaimana bahasa Roh itu terjadi dan dalam situasi atau suasana apa terjadinya? Bahasa Roh itu terjadi adalah bergantung pada kejiwaan atau mental dan intelektual seseorang. Yang paling mungkin adalah ketika seseorang berada dalam tekanan kejiwaan atau mental. Tekanan itu bisa saja merupakan tekanan karena penderitaan atau bisa juga sukacita yang berlebihan. Kedua-duanya bisa memperngaruhi kesadaran atau logika dan daya nalar seseorang, Bisa juga karena kelelahan fisik akibat bekerja atau suatu kegiatan yang melelahkan secara fisik. Sedangkan situasi atau suasana terjadinya bahasa Roh hampir dapat dipastikan pada waktu memasuki sesi doa dalam peribadahan.

Perhatikan suasana doanya, selain dilakukan bersama namun masing-masing berdoa menurut kepentingannya sendiri kemudian dengan suara berguman, jadilah suasana doa seperti suara dengung ribuan lebah atau sebanyak umat yang ikut berdoa itu. Digambarkan sebagai suara lebah adalah untuk memudahkan penjelasan ini, Kalau kita mendengar dengung seekor lebah didekat telinga kita, terasa sangat mengganggu baik mengganggu pendengaran kita bukan karena volume suara dengungannya melainkan decibel atau equalizer yang tinggi intonasinya, juga mengganggu konsentrasi kita dan membuyarkannya. Semakin lama kita mendengar dengung lebah itu maka kesadaran, logika dan daya nalar kita terus berkurang dan berkurang hingga masuk kealam bawah sadar atau biasanya disebut pingsan atau semaput. Bayangkan jika dalam sesi doa ada sekian banyak orang yang ikut doa bersama dengan bergumam. Seperti itulah kesadaran, logika dan daya nalar kita terganggu. Contoh lain untuk menggambarkan suara. Adalah ibarat seember air yang permukaannya sangat tenang ( kesadaran, logika dan daya nalar kita )lalu kita menyentuhkan ( mengucapkan sebuah kata atau kalimat )jari telunjuk kita.ke permukaan air. Maka permukaan air dalam ember itu akan terlihat gelombang-gelombang kearah tepian ember ( gendang telinga )terus-menerus sampai daya dorong gelombang itu habis. Satu sentuhan jari telunjuk ke permukaan air bisa menimbulkan banyak gelombang, bayangkan kalau telunjuk itu adalah tinju kita atau buah kelapa, bukankah hebat gelombang yang ditimbulkannya. Sedangkan selaput gendang telinga kita lebih halus dari kulit bawang. Akibatnya kesadaran kita, logika dan daya nalar pastilah terganggu. Sampai disini kita ikuti cerita, bagaimana pada waktu pencurahan Roh kudus sesudah Yesus terangkat ke sorga. Waktu terjadinya diperingati sebagai hari Pentakosta ( hari ke lima puluh sejak Yesus bangkit ) Sesudah dalam waktu sekian lama bersembunyi dalam tekanan dikejar-kejar, bukankah pengikut-pengikutNya berada seperti penjelasan diatas baik jasmani maupun rohaninya. Pengalaman Bahasa Roh, lebih memperlihatkan ledakan emosi seperti tanggul situ gintung yang jebol. Apa yang ada dihadapannya diterjang dan dihanyutkannya. Orang yang terlalu lama dalam tekanan kemungkinan meledak dan pengaruhnya tergantung besar kecilnya frekwensi ledakannya. Dan orang yang sudah terbebas dari tekanan, bebas juga dari perasaan yang menekannya. Itu bisa mengubahnya menjadi pemberani, gembira dan bersemangat. Seperti itulah gambaran pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta dalam kajian secara ilmiah. Tak ada alasan kuat untuk mempercayai tulisan ini, namun tak ada alasan juga untuk menolaknya, karena sekalipun tidak sepenuhnya didukung data lab dan observasi. Tapi sebagai penjelasan awal amatlah menarik untuk direnungkan dan ditindaklanjuti. Orang yang mengalami bahasa Roh, sejauh ini selalu terjadi hanya sebatas persekutuan doa atau ibadah. Diluar itu amat sangat jarang dan tidak lazim terjadi apalagi pada saat seseorang kusyuk berdoa sendiri. Mungkin orang yang berdoa itu bisa terisak-isak karena terhanyut dalam perasaan dan makna doa yang dilafalkannya. Sesudahnya ada rasa kelegaan dan ketenangan. Sekalipun mungkin apa yang menjadi harapan dalam doa tidak serta merta dijawab.

Bahasa Roh dalam pengertian lain, semestinya dipahami sebagai karunia Allah dalam menyampaikan kehendakNya entah itu berkat atau peringatan Bukan suatu metode atau bagian ritual yang bisa diajarkan atau dapat diterapkan seperti menyanyi dan bermain musik misalnya. Barangkali kita boleh berdoa memohon agar dikaruniakan berbahasa Roh. Tetapi untuk apa memohon karunia berbahasa Roh, karena arti dari karunia ini hanya untuk menyampaikan kehendakNya baik itu sebagai berkat maupun peringatan. Dalam Alkitab dikatakan jika ada yang mendapat karunia berbahasa Roh, haruslah juga ada yang dikaruniakan untuk menterjemahkannya. Hal lain yang harus dipahami dan direnungkan. Mendapat karunia berbahasa Roh bukan berarti orang yang mengalaminya hidup suci dan kudus, tetapi hanya sebatas suatu ungkapan dari apa yang sudah kita alami baik suka atau duka. .

Dewasa ini jika kita perhatikan, pengalaman berbahasa Roh terkesan aneh dan menimbulkan kerancuan, apakah merupakan karunia dari Allah atau semata-mata merupakan bagian dari suatu rangkaian ibadah. Perhatikan dalam ritual ibadah terutama pada waktu berdoa, Tiba-tiba saja seseorang yang berdoa bisa memulainya dengan bahasa Roh, lalu kembali ke bahasa Indonesia itupun tidak dengan tata bahasa yang baik. Apa yang bisa kita simpulkan dengan fenomena ini? Apakah karena pemahaman tentang Allah yang maha kuasa dan maha tahu, lalu berdoa boleh dipanjatkan semau kita? Atau apakah dalam kehidupan bergereja sejauh hubungannya dengan peribadahan boleh dilakukan semaunya, dengan mengabaikan aturan-aturan yang baku? Kalau hal-hal yang utama dalam peribadahan bisa diambangkan sejalan dengan situasi yang berkembang, disana ada potensi Iblis mengambil bagian mengacaukannya. Maka tidak jarang juga justru pada puncak ritual ibadah, ada umat yang kerasukan roh jahat. Kesannya aneh… bagaimana dalam ritual ibadah yang mengutamakan dan meyakini akan peranan Roh kudus, si Iblis leluasa merasuk satu dua umat untuk menyatakan kehadirannya.

Karunia berbahasa Roh mungkin tidak sama dan sebangun dengan baptisan Roh, Tapi keduanya adalah satu Roh yang sama yaitu Roh Kudus. Banyak pengajaran yang menggiring umatnya untuk mengenal berbagai-bagai karunia Roh, Sejauh pengajaran itu mengerucut pada pemahaman akan Roh Kudus, memang demikianlah seharusnya. Tetapi ketika pemahaman itu lalu mengutamakan salah satu dari karunia Roh itu, maka menjadi pertanyaan besar, karena pemahaman akan Roh Kudus sudah bergeser hanya pada karunianya. Kalau saja baptisan air boleh diangkat menjadi acuan tentang peranan Roh Kudus, maka berbagai pengajaran dan bimbingannya akan mengurangi salah penafsiran dan pemahamannya karena ketika seseorang memutuskan menerima baptisan air baik selam maupun percik yang dipahami sebagai pengakuan Iman percaya yang juga bukan karena pengakuan manusia tapi adalah pimpinan roh kudus, saat itu pula sesungguhnya Roh kudus sudah mengambil tempat dalam Roh jiwa dan akal budi manusia. Perhatikan kalimat dalam sakramen Baptisan Air. Aku membaptis engkau dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Amin. Jadi sangat jelas dalam baptisan air telah menyatakan kehadiran Roh kudus pada waktu menerima baptisan air itu. Kalau kita masih memohon karunia Roh Kudus dengan bahsa Rohnya dan berbagai –bagai karunia Roh, secara tidak langsung mereka yang sudah menerima baptisan Air, telah mengingkari dan menyalahi pengakuan iman percayanya sendiri dan kalau sudah demikian, apa lagi yang harus kita katakan? Bukankah hal tentang Roh Kudus menjadi aneh dan rancu dalam peranan kehidupan umatnya. Apakah kalimat yang dibacakan sang pembaptis hanya slogan semata sehingga maknanya kehilangan arti dan penghayatan.

Karunia berbahasa Roh harus memberi dampak ketenangan, kebijakan, rasa syukur, penuh belas kasih dan rendah hati. Dalam pengertian ini, jika karunia berbahasa Roh senantiasa didemonstrasikan atau divisualisasikan dengan kalimat dan bahasa yang sama, oleh orang yang sama, sudah pasti bukan karunia berbahasa Roh, melainkan keangkuhan orang itu seakan dia hidup kudus dan berkenan kepada Allah. Dengan demikian berhati-hatilah memahami dan mengartikan karunia berbahasa Roh. Maksud hati memohon karunia berbahasa Roh yang merasuki justru roh Iblis. Barangsiapa berhikmat kiranya tahu apa yang baik dan benar. Kiranya Tuhan memberkati. Amin.

Pucung Bantul 16 April 2009

Hardo Jayadi Setiawan

Call Sign: Musafir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika ada saran, komentar, pertanyaan, atau kritikan, silahkan Anda ketik di kolom komentar. Terima kasih atas kunjungan Anda ke web blog saya.