11 Maret 2009

PERANAN MANUSIA DALAM PERSPEKTIF KEHENDAK ALLAH

Kita mulai tulisan ini dengan mengacu kepada Firman Tuhan dari kitab Kejadian 1 : 26-28 dan perhatikan kata "berkuasalah". Kata berkuasalah adalah mandat, perintah, atau penganugerahan otoritas Allah kepada manusia sebagai rekan sekerja dalam mewujudkan kehendak-Nya. Sementara ketiga jenis makhluk yang harus dikuasai adalah kiasan tentang ilmu pengetahuan untuk mengeksploitasi dan eksplorasi ciptaan-Nya (lihat Kejadian 1 : 1-25).

Kalau saja Hawa tidak tergoda oleh si ular, mungkin kehendak Allah ini menjadi "penting-tidak penting" dalam artian manusia sebagai ciptaan-Nya, tidak perlu bersusah payah untuk berpikir, bekerja, dan memberi hasil. Toh, hidup sudah nyaman. Apapun juga yang diinginkan manusia pada waktu itu pastilah sudah tersedia.

Di dinilah menjadi inspirasi bagi manusia untuk berkreasi dan berkarya, tetapi jangan lupa hal inipun masih dalam kerangka grand design kehendak-Nya. Bahwa selanjutnya ada hukum-hukum dan aturan-aturan yang dibuat Allah semata-mata agar manusia dalam eksploitasi dan eksplorasinya tetap dalam kerangka grand design kehendak-Nya.

Apa yang menjadi grand design kehendak-Nya? Apa yang harus menjadi acuan kita?

Sejak Hawa menerima godaan sang ular, saat itu juga kehendak Allah berlaku dalam peranan manusia. Mula-mula berpakaian dari rasa ketelanjangan, dengan mencari makan untuk menghilangkan rasa lapar, dan seterusnya. Dari sepasang manusia ciptaan Allah hingga tak terhingga dan masih terus bertumbuh sesuai dengan apa yang ingin diekploitasi dan dieksplorasi manusia itu sendiri, Firman Tuhan hanya mengatakan "beranak-cuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukkanlah itu". Manusia dengan ilmu pengetahuannya sudah mampu bongkar-pasang dan menentukan jenis kelamin anak yang mau dilahirkan dengan tranplantasi dan clonning bayi tabung, bahkan dengan rekayasa genetika bisa dibuat organ-organ tubuh.

Dalam perkembangannya manusia mulai memahami faktor sebab-akibat dan bermuara pada rumusan-rumusan dan disiplin ilmu pengetahuan. Perkembangan itu berjalan lambat dalam ukuran ribuan tahun, bahkan jutaan tahun. Dalam Alkitab dikatakan bahwa satu hari sama dengan seribu tahun. Jadi, jutaan tahun dalam ukuran manusia/dunia, mungkin cuma beberapa hari/tahun dalam ukuran Tuhan. Hitungan satu hari adalah bumi mengelilingi matahari selam kurang lebih 24 jam yang disebut satu hari. Bayangkan sorga yang jaraknya pasti lebih jauh dari matahari dengan kecepatan mengelilingi mungkin lebih cepat atau lambat dari bumi, masanya adalah seribu tahun. Silahkan keluarkan kalkulator Anda dan coba kira-kira pada jarak berapa letak sorga itu. Sulit memang, tapi mulai dapat diprediksi atau diperkirakan di mana sorga itu. Bagi manusia ukuran ini luar biasa mendekati keajaiban, jika manusia dapat membuktikannya. Bagi Allah, hal itu biasa saja. Cobalah kita masuk dalam persepsi bahwa kita manusia adalah rekan sekerja Allah, maka tak ada kata "manusia menentang Allah". Sangat jelas jika semua mau dimulai dari kitab Kejadian 1 : 26-28. Pada bagian lain Alkitab juga dikatakan "takut akan Allah adalah permulaan hikmat", salahkah manusia jika dengan hikmat dan akal-budinya mengeksploitasi dan mengeksplorasi ciptaan-Nya dalam perspektif takut akan Allah.

Adalah kontroversi dan terlalu naif jika kita memulangkan anugerah otoritas ini kepada Tuhan dalam menjalani kehidupan ini hanya dengan pengertian percaya, beriman, dan berharap kepada-Nya, seakan kita duduk manis saja di rumah, maka segala persoalan kita selesai dengan memuaskan. Retorika para hamba Tuhan adalah "kalau kita berprofesi sebagai dokter misalnya, hendak-lah dilakukan demi dan untuk kemuliaan nama Tuhan". Demikian juga dengan sejuta profesi lainnya baik formal maupun nonformal. Sebagai pesan khotbah atau renungan yang disampaikan melalui mimbar memang demikian seharusnya. Tetapi gereja sebagai institusi, apa yang sudah dilakukan bagi hajat hidup orang banyak di luar peribadahan? Sekedar berdiakonia? Sedekah? Atau sumbang sana sumbang sini?

Dalam kesehariannya, para hamba Tuhan warna-warni melayani jemaatnya terutama konseling. Tak ada yang tahu bagaimana berhasil tidaknya konseling dalam mengatasi permasalahan jemaat. Beberapa yang berhasil diekspose sebagai keajaiban atau mukjizat dalam perspektif iman percaya, kuasa doa, dan kharisma hamba Tuhan-nya. Kesan fenomenal ini mengundang minat dari buruh harian hingga konglomerat untuk datang menyaksikan dan mengalaminya, lalu momen yang bagus ini dikembangkan menjadi kebaktian-kebaktian kebangunan rohani (KKR). Saking fenomenalnya, ada gereja yang berani mengadakan ibadah "setiap" minggu dengan label KKR, ada juga yang dengan visi misi mempersiapkan jemaat secara vertikal-horisontal untuk menyambut kedatangan Yesus. Yang lainnya dengan semboyan "lebih dari pemenang", dan banyak lagi yang bombastis. Tapi cobalah perhatikan bagian terpenting dari ritual ibadahnya, yaitu pemberitaan Firman Tuhan -nya sebagian besar kalau tidak mau dibilang semua khotbahnya berputar-putar, mengulang-ulang, dan ayat Firman Tuhan-nya comot sana comot sini. Penekanannya yaitu tadi, pengalaman karunia, baik karunia bahasa roh, kesembuhan, nubuatan, penglihatan, urapan, dan sukses jasmani rohani, di luar itu jemaat harus siap dihakimi dengan penekanan kepada dosa-dosa, baik dosa hari ini, kemarin, atau bahkan dosa yang dilakukan orang-tuanya, dari dosa seksual (perzinahan) hingga pendurhakaan. Lengkaplah tudingan itu jika ada jemaat yang belum mengalami karunia minimal bahasa roh, lalu dalam konseling dengan istilah general cek-up, jemaat yang sudah seperti pasien didiagnosa, apakah ada dosa yang belum dibersihkan. Praktek yang sudah mirip-mirip klenik karena mereka yang mengaku hamba Tuhan beberapa tanpa latar belakang gelar akademik yang menangani general cek-up ini. Tidak juga diketahui bagaimana hamba Tuhan ini bisa menjadi gembala sidang di salah satu gereja ini. Hamba Tuhan yang lainnya menantang jemaatnya untuk mengalami kemurahan Tuhan. Yang mengejutkan jemaat dihimbau untuk menyerahkan harta bendanya atau apapun juga melalui gerejanya untuk pelayanan, dalihnya. Sulit untuk dimengerti dan difahami tantangan dan himbauan ini karena yang dimaksud itu apakah gereja sedang cari dana atau menjual kemurahan Tuhan. Pada akhirnya tidak hanya kredebilitas hamba Tuhan, gerejanya, pengajarannya, dan seperti apa kualitas jemaatnya menjadi tanda tanya besar. Mereka yang terpanggil untuk menyerahkan harta bendanya tidak jelas stabilitas emosinya, karena beredar juga berita-berita miring bahwa mereka heran mengapa menyerahkan harta bendanya dan menyesal. Belum lagi pada satu dua dekade terakhir ada yang berani meramalkan hari kiamat. Sekte kemah Daud di Bandung sempat mempersiapkan jemaatnya untuk menyongsong kedatangan Yesus, tetapi tidak terjadi apapun. Beberapa yang katanya mendapat karunia penglihatan, bicara tentang akan terjadi gempa dan tsunami di Pulau Jawa bagian Tengah dan Timur, tetapi sesudah ditunggu-tunggu, juga tidak terjadi apapun. Ada lagi beberapa gereja yang sudah mengarah pada kegilaan dalam ritual ibadahnya. Coba saja tengok beberapa gereja, tergantung mood hamba Tuhannya dalam ritual ibadahnya. Kalau hamba Tuhan lagi mood untuk puji-pujian, maka sepanjang ritual ibadahnya ya cuma puji-pujian, doa, dan yang pasti kolekte tidak pernah dan tidak mungkin dihilangkan. Demikian juga kalau lagi moodnya khotbah atau pernah juga cuma kesaksian-kesaksian jemaatnya. Lalu apa komentar dari para pemerhati dan para pencari berita? Hal di atas dianggap sah-sah saja dengan alasan ingin menghadirkan dan menempatkan Tuhan yang memimpin dan berbicara dalam ritual ibadahnya.

Ini sekedar gambaran hiruk-pikuk gereja-gereja yang katanya melayani jemaat.

Gereja-gereja main stream mulai kewalahan karena ritual ibadahnya terasa jemu dan membosankan. Herannya mereka terpengaruh aktivitas kerohanian di luar gerejanya, semisal perangkat musiknya, tepuk tangan, dan pembawa acara yang menyemangati jemaatnya untuk interaktif dalam ritual ibadahnya. Persoalan gereja-gereja main stream sebenarnya bukan terletak pada ibadah yang menjemukan, tetapi lebih kepada hamba Tuhannya yang tidak memahami kehidupan nyata di luar kerohanian (dunia sekuler), penguasaan bahasa dan gaya orasinya. Kebanyakan dari mereka gayanya kaku, miskin perbendaharaan kata dan bahasa, dan pokok bahasannya tidak langsung menyentuh persoalan-persoalan yang sedang dihadapi jemaatnya. Bahwa mereka yang merasa terpanggil atau dalam jenjang pendidikannya tidak ada pilihan lain, jadilah mereka sebagai hamba Tuhan abangan, alias teks book. Jadilah gereja-gereja main stream terkesan jemu dan membosankan.

Adalah Petrus seorang nelayan temperamental yang pertama dipanggil menjadi rekan sekerja Yesus kerapkali membuat pernyataan dan tindakan yang kontroversi dalam kebersamaannya bersama Sang Guru. Berapa banyak sukacita dan keajaiban yang dialami Petrus bersama Sang Guru buat ukuran kita pastilah luar biasa. Dari sekian banyak rekan sekerja Yesus pada waktu itu, mungkin Petrus-lah yang paling berani sekaligus yang paling pengecut, paling setia, sekaligus tukang pembantah, sekaligus menantang. Sisi kehidupan Petrus bersama Sang Guru hampir bisa dikatakan mewakili kita dengan berbagai persoalan, karakter dan tingkah laku. Petrus mungkin bukan yang terbesar dan terkemuka dalam Perjanjian Baru, apalagi dibanding Lukas sang dokter atau Yohanes Pembaptis yang merintis jalan bagi Yesus dan yang terakhir Paulus bin Saulus yang surat-suratnya mendominasi sebagian besar Perjanjian Baru, Petrus hanya portrait keluguan dan kesederhanaan isi hati dan pemikiran manusia. Namun kepadanyalah Yesus memberikan kunci kerajaan sorga dengan mandat untuk "mengingat, menimbang, dan memutuskan/menetapkan" semua perkara di dunia. Implementasi rapat internal Yesus sebagai manager dengan para staf rekan sekerjanya di Kaesaria Filipi ini adalah berdirinya sebuah kerajaan teokrasi yang kini berpusat di Vatikan. Rajanya yang memerintah hanya dilambangkan dengan bentuk salib, sementara sehari-hari dipimpin seorang pope yang dibantu beberapa menteri, dan salah satunya menteri riset dan pengembangan yang menjadikan semua disiplin ilmu pengetahuan sebagai obyek penelitiannya. Kekuasaannya menyebar melintasi batas-batas negara ke seluruh bagian dunia yang dipimpin masing-masing oleh seorang kardinal/uskup dan di bawahnya para pastor. Kehadirannya bisa dirasakan melalui misa yang menghantarkan umatnya untuk mengenal, percaya, berharap, dan menyembahnya. Sementara dalam melayani hajat hidup orang banyak mereka hadir dengan pusat-pusat pendidikan formal maupun nonformal, pusat-pusat layanan medis, pusat-pusat media komunikasi dan elektronik dan berbagai layanan yang berbasis teknologi, pelatihan-pelatihan manajemen dan keterampilan kerja. Semuanya dengan kualitas terbaik. Kerajaan ini dalam perjalanannya bukan tanpa cacat-cela, salah satunya yang mungkin tak terampuni adalah surat pengampunan dosa yang menimbulkan perpecahan, yang lainnya adalah bantahan terhadap statement Galilea Galileo. Pada akhirnya pope dengan arif bijaksana mengakui kesalahan ini dan memperbaikinya. Di sisi lain adalah beberapa fungsionaris/ aparatnya yang terlibat kasus kawin cerai, homo seksual, vedofilia, namun yang ini bersifat individual. Sebagaimana kerajaannya hanya dipimpin oleh sebuah lambang salib, ternyata dasar negaranya juga adalah salib, dimana garis vertikal dijabarkan sebagai menghantar umat manusia mengenal Sang Khalik melalui misanya, sementara garis horisontal adalah layanan atas hajat hidup orang banyak di dunia sekuler. Kalau kita telusuri lebih jauh, itulah hukum kasih yang terdapat dalam Injil. Hukum kasih juga bisa diartikan perpaduan dua kutub di mana Allah pemilik otoritas dan manusia yang diberi mandat bersinergi. Lihatlah karya-karya fenomenal dan monumental yang sudah dihasilkan manusia, tak ada lagi misteri Alkitab yang belum terjawab. Kalaupun ada, itu hanyalah persoalan waktu untuk mengungkapkannya. Apakah Anda mau bergabung atau cukup dengan iman percaya saja sambil mengejar mukjizat-mukjizat? Di Eropa dan Amerika, beberapa ritual ibadah mulai ditinggalkan umatnya, hal ini bukan karena dunia kegelapan yang diwakili Lucifer berusaha keras menjaring sebanyak mungkin pengikutnya, tetapi lebih disebabkan oleh mereka yang tak mampu menjawab persoalan dan hiruk pikuk geliat dunia nyata. Mereka yang bertahan membentengi diri dengan tembok dosa sehingga tak ada apapun yang mereka lakukan, padahal rusak susu sebelanga hanya oleh setitik nila dalam artian betapa rapuhnya kemurnian/kekudusan.

Dari sekian banyak gereja yang mengerucut menjadi beberapa denominasi barulah bisa kita lihat eksistensi dan legalitasnya, struktur organisasi, dan visi-misinya. Tanpa kita sadari sebenarnya data-data seperti ini diperlukan karena dewasa ini sudah banyak yang menyimpang. Cobalah kita lihat penyelenggaraan suatu ritual ibadah yang berkesinambungan diselenggarakan di restoran, di hotel, di tempat-tempat terbuka dan di stadion-stadion. Beberapa lalu hilang tak berbekas dengan setumpuk masalah yang ditinggalkan. Jangan heran dan jangan kaget, karena ada juga gereja yang sepenuhnya milik pribadi seseorang tetapi masuk ke area publik dengan dogma dan peraturannya sendiri. Mungkin kita bersyukur dengan pertumbuhan persekutuan-persekutuan di banyak tempat dan wilayah, baik atas gagasan sekelompok orang/umat maupun hasil dari pemekaran gereja induk, tetapi mungkin kita juga terperangah dan terkejut jika mengetahui pertumbuhan ini lebih disebabkan kekecewaan orang per orang maupun kelompok atas gerejanya dan sepakat untuk membuka persekutuan baru. Tidak diketahui apakah persekutuan-persekutuan baru ini resmi atau tidak, yang jelas tanpa papan nama dan kalaupun ada lebih mirip spanduk iklan keluarga dengan tulisan kharismatik family centre. Sulit untuk bisa dimengerti apakah sedemikian besar dorongan untuk ibadah sehingga kaidah-kaidah dan norma-norma yang ada boleh diabaikan semaunya. Tidak hanya itu, siap penanggungjawabnya, siapa pelayan firman, siapa penatuanya, semua tidak jelas. Dampak pertama yang timbul dari pertumbuhan ini adalah jemaat/umat menjadi domba liar yang jadi rebutan. Apa yang bisa dikatakan dengan realita ini? Jangan salahkan jika ada penindasan, pemberangusan, karena cara-cara seperti ini hanya menimbulkan kecemburuan dan kebencian. Mungkin kita tulus seperti merpati, tetapi tidak cerdik seperti ular, dan lebih dari semuanya itu, sesungguhnya kita tidak melaksanakan mandat yang sudah Allah berikan bahkan sebelum manusia jatuh dalam dosa yaitu berkuasalah.

Berkuasalah atas dunia pendidikan, baik formal maupun nonformal, berkuasalah atas dunia medis, berkuasalah atas suplay dan demand, maka banyak orang akan merasa berkatnya, banyak orang akan dicerahkan, banyak orang akan menerima damai sejahtera, dan Allah bertahta di sana. Masihkah kita hanya mengejar karunia-karunia, mukjizat-mukjizat, dan urapan-urapan? Bahwa sesungguhnya semuanya itu sudah diberikan, bahkan nyawa-Nya sekalipun sudah Ia serahkan di kayu salib, mati lalu bangkit untuk menyertai sepanjang kehidupan kita dengan Roh Kudusnya, sementara Dia menyediakan tempat di sorga sana.

Ingatlah, jangan sampai Firman Tuhan dalam Matius 7 : 15-23 berlaku atas kita.

Bersama Tuhan kita lakukan perkara yang besar.